Dewasa Itu Pilihan

34 tahun sudah saya melewati kehidupan ini. Sebuah perjalanan yang cukup panjang tentunya. Kalau merujuk pada usia Rasulullah SAW, maka sudah separo lebih perjalanan hidup ini saya jalani. Tentunya beragam pengalaman dan kejadian sudah saya alami. Saya teringat tagline sebuah iklan, “Tua itu pasti. Dewasa itu pilihan”. Memahami isi iklan ini, saya jadi berfikir, seiring bertambah (berkurang) usia ini, semakin dewasa-kah diri ini atau malah sebaliknya kedewasaan ini tak bertambah sama sekali. Naudzubillah.

Kedewasaan seseorang sangat dipengaruhi oleh usahanya dalam memaknai setiap sisi kehidupan, baik susah maupun senang, pahit ataupun manis. Sikap seseorang dalam menghadapi pengalaman-pengalaman inilah yang “memahat” jiwa secara perlahan namun secara pasti membentuk karakter
Baca lebih lanjut

Etape (2)

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, bahwa kehidupan adalah rangkaian dari etape (baca: fase) yang satu dengan etape lainnya. Dan kemenangan kita hingga etape terakhir sangat ditentukan oleh prestasi kita dari etape-etape sebelumnya. Lantas, sudahkah kita memenangkan setiap etape yang sudah kita lewati selama ini?

Tetap merujuk pada pembagian manusia berdasarkan jari tangan, maka sudah tiga etape yang saya lewati. Etape pertama (usia 0-10 tahun), (insyaallah) saya lewati dengan sangat manis tanpa ada halangan yang berarti. Itu karena pada etape ini segala sesuatu masih sangat tergantung kepada orang tua, saudara,dan keluarga lainnya. Alhamdulillah, saya dititipkan oleh Allah pada orangtua yang sangat menyayangi saya. Jadi, hampir tak ada kendala yang berarti meskipun tidak bisa dikatakan bahwa dalam etape ini saya telah mengukir prestasi yang membanggakan. Ibarat perlombaan balap sepeda, pada etape ini saya tidak berada pada urutan paling belakang namun saya juga tidak berhasil naik podium sebagaimana halnya para juara.

Untuk urusan agama, saya memiliki kemauan yang lumayan kuat, baik dalam hal belajar maupun aplikasinya. Masih ingat jelas dalam benak saya, dimana waktu itu saya menangis dengan perasaan yang sangat jengkel hanya karena saya tidak dibangunkan untuk shalat subuh.

Memasuki etape kedua (usia 11-20 tahun), ada prestasi yang bisa saya ukir, yakni saat duduk di bangku SMP. Waktu itu hal yang paling menyenangkan adalah pada saat pengambilan raport. Karena pada saat itu saya bisa melihat betapa bahagianya orangtua saya, dengan penuh percaya diri dan dengan perasaan bangga, beliau naik ke atas panggung dan bersalaman dengan kepala sekolah karena saya mendapat rangking pertama. Hal seperti ini berlangsung selama 3 tahun, sampai saya lulus SMP. Lunas sudah segala jerih payahnya, banting tulang untuk membiayai sekolah saya dan saudara-saudara saya. Maklum kami bukan dari keluarga yang berada. Jadi urusan sekolah adalah hal yang sangat istimewa bagi keluarga kami.

Sayangnya, satu-satunya prestasi yang bisa saya raih tidak dapat saya pertahankan begitu memasuki bangku SMA. Ada kegalauan dalam hati ini.
Baca lebih lanjut